Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Dakwah Bil Kitabah

Pada abad ke-20 kini, terdapat pelbagai cara atau metodologi yang boleh dipraktikkan oleh para pendakwah selain dari dakwah secara lisan dan hal. Ianya bukanlah satu cara yang mudah akan tetapi perlu secara terus-menerus. Dakwah bil Kitabah ( Penulisan ) amat bersesuaian dengan masyarakat kini yang mempunyai pelbagai tabiat. Ada yang malu untuk bertanya, ada yang tidak sempat atau terlalu sibuk dengan kerja dan sebagainya. Maka, dengan kaedah ini, sedikit sebanyak akan membantu mereka bagai menambahkan lagi input di waktu lapang mereka di samping pendakwah boleh menghuraikan secara terperinci berkaitan dengan Islam.
Dakwah melalui tulisan dapat terus diingati. Seperti contoh, karya ilmuan Buya Hamka yang telah menulis pelbagai buku. Meskipun kini beliau telah tiada akan tetapi buku penulisannya masih ramai orang membaca dan tulisannya seringkali dijadikan rujukan.
Terdapat dua cara utama yang boleh digunakan oleh para pendakwah dalam bidang penulisan ini sesuai dengan situasi semasa. Di antaranya melalui :
1. Pembukuan dan Media Cetak
Kini terdapat ramai di kalangan ulama yang membukukan penulisan mereka. Dengan cara ini, mereka akan menghuraikan secara terperinci mengenai sesuatu perbahasan dengan mendalam. Bahkan penulisan mereka juga turut dijadikan bahan rujukan oleh mahasiswa dan sebagainya di dalam kertas kerja mereka. Terdapat pelbagai jenis media cetak pada masa kini. Samada surat khabar, majalah, risalah, jurnal-jurnal dan sebagainya perlu dipraktikkan. Melalui pelbagai cara ini, gerakan dakwah dapat tersebar luas bukan hanya di dalam kumpulan masyarakat yang kecil malah di seantaro dunia.

2. Media Elektronik
Media elektronik yang sesuai dengan cara penulisan kini ialah dengan melalui internet iaitu satu jaringan popular pada masa kini lebih-lebih lagi pada golongan muda. Kadang-kala pengaruh internet memberi kesan yang hebat kepada mereka, maka adalah menjadi salah satu alternatif yang baik jika para pendakwah turut menggunakan cara ini. Bukan hanya penulisan di laman-laman web, blog malah jaringan-jaringan sosial seperti Facebook, Friendster, Twitter dan sebagainya turut memberi pengaruh yang besar pada masyarakat lebih-lebih lagi untuk menarik perhatian remaja kini.
Selain daripada itu, di antara ciri yang perlu ada dalam sesebuah penulisan untuk menerbitkan karya-karya berbentuk dakwah Islamiyah mengikut sitausi semasa tetapi tidak melampaui batas-batasnya. Antara cara atau kaedahnya adalah:
1. Penceritaan
Ternyata kini, gaya bentuk penulisan yang bercorak penceritaan semakin diminati. Seperti contoh, karya Ustaz Hasrizal yang bertajuk “ Aku Terima Nikahnya 1 dan 2 ” amat laris di pasaran. Ini menunjukkan golongan kini terutamanya remaja serta belia pertengahan usia semakin menggemari gaya penulisan dakwah yang berbentuk cerita santai. Di samping itu, bentuk-bentuk penceritaan yang berunsurkan Islam seperti contoh di dalam karya Habibburahman El Shirazy seperti Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2 banyak menyentuh aspek kehidupan di dalam Islam sehingga menjadi bualan masyarakat kini.
2. Bahasa
Untuk seseorang pendakwah mencapai tahap yang terbaik iaitu melangkaui sehingga peringkat global, seseorang pendakwah itu perlu untuk berkemahiran dalam pelbagai bahasa antaranya bahasa yang menjadi bahasa utama dunia iaitu Bahasa Inggeris di samping penggunaan bahasa harian yang dapat difahami masyarakat sekeliling. Hal ini perlu jika seseorang pendakwah ini benar-benar mahu berjuang dan menakluki hati-hati betapa indahnya Islam kepada orang bukan Islam. Dengan cara ini, mungkin ianya menjadi salah satu medium bagi orang bukan Islam membuka minda mereka dan menerima Islam dengan hanya membaca tulisan-tulisan ini sekaligus mereka ingin mengetahui dan mendekati Islam lagi.
Secara kesimpulan, terdapat pelbagai cara yang kreatif bersesuai dengan keadaan semasa yang perlu lagi difikirkan para pendakwah di dalam penyebaran dakwah kini. Ianya sedikit sebanyak perlunya kaedah psikologi bagi menawan hati-hati manusia yang penuh dengan kelalaian dengan persekitaran semasa. Semoga dengan cara dan kaedah yang baik, penyebaran Islam dapat lagi diperluaskan ke pelusuk dunia. Bukan tanggungjawab ini perlu di pikul oleh pendakwah sahaja, malah semua orang Islam yang berkemampuan. Sama-samalah kita menegakkan syiar Islam

Menghasilkan Inspirasi Baru

Inspirasi adalah sebuah kata yang memiliki makna yang luar biasa, karena dengan inspirasi orang bisa melakukan hal yang tak terduga sebelumnya, sesuai inspirasi yang didapatnya. Dengan inspirasi seseorang akan dengan mudah menemukan ide dan inovasi.Bagi sebagian orang mungkin kesulitan untuk menemukan sebuah inspirasi, tapi tidak untuk yang lainnya. Oleh karena itu, saya ingin berbagi pengalaman bagaimana cara mendapatkan inspirasi.
1.Tentukan tujuan
Tentukan tujuan Anda, apa yang mau dicapai. Langkah ini mungkin memakan waktu lama, dan anda harus sabar saat anda memikirkan sesuatu. Anda tidak akan bisa berpikir dengan benar jika anda cemas dan tergesa gesa. Cobalah untuk menjadi nyaman secara fisik dan emosional, sebanyak yang anda bisa agar tujuan anda tercapai dengan baik.

2.Membaca/Reading
Apakah bisa hanya dengan membaca? Mungkin...! Inspirasi bisa datang dari mana saja dan bisa datang dari buku karena semakin banyak ilmu pengetahuan yang kita dapatkan maka semakin besar kita cepat mendapatkan inspirasi. Sekarang jaman sudah modrern, disamping buku anda juga bisa menggunakan internet sebagai bahan bacaan dalam menggali ilmu 
3.Sosialisasi
Sosialisasi adalah saat dimana kita melakukan interaksi dengan orang lain. Inspirasi bisa datang dari orang lain, ingat! Saya dan anda adalah makhluk sosial dan tidak bisa hidup sendirian. Tidak ada orang hebat yang bisa hidup sendirian. Anda dan saya tentu membutuhkan orang lain, karena hidup akan terasa nikmat, manakala kita saling berbagi (take and give) dan hal ini salah satu alasan datangnya sebuah inspirasi
4.Pengalaman/Experience
Pengalaman adalah kumpulan kejadian dan peristiwa yang sudah terjadi dan masih tersimpan erat di otak kita. Semakin banyak pengalaman pahit atau pengalaman manis yang anda alami dalam kehidupan , maka semakin banyak dan cepat inspirasi yang timbul. Misalnya banyak pengarang lagu yang membuat lagu terinspirasi dari pengalaman hidupnya dan biasanya lagu tersebut mewakili perasaan dan perjalanan hidup mereka sehari hari. Oleh karena itu perbanyaklah pengalaman dengan demikian kita dapat belajar dari pengalaman dan hal tersebut bisa kita jadikan sebuah inspirasi.

5.Lihat di sekitar anda, 
Lihatlah disekitar anda apakah anda melihat sesuatu yang menonjol atau yang menarik menurut anda. Cobalah untuk tidak mencari sesuatu yang susah dipikirkan. Kalau semua itu menyebabkan timbulnya emosi, apapun itu mungkin merupakan sumber inspirasi yang baik.

6.Targetkan tujuan
Targetkan sendiri tujuan yang akan anda jangkau. Pikirkan tentang apa yang dapat anda capai, datang dengan solusi yang masuk akal untuk mencapai tujuan ini, jangan mengejar inspirasi jika anda tidak suka. Dengan demikian anda akan mendapatkan inspirasi.
Semoga bermanfaat

Analisis Iklan Politik Gita Wirjawan



Secara keseluruhan iklan dari Gita Wirjawan ini sudah sangat bagus. Tim kampanyenya bisa melihat isu yang sedang dan masih hangat di masyarakat luas, yaitu tentang polisi yang korup. Memang tidak bisa di pungkiri bahwa korps kepolisian masuk dalam daftar 5 instansi pemerintah terkorup tahun ini. Pun juga dengan masyarakat yang memilih “bernego” dengan polisi di lapangan ketimbang harus ribet mengikuti proses persidangan. Narasi yang ditampilkan juga menandakan adanya sebuah janji ketegasan dari seorang Gita Wirjawan. Begitu pula dengan durasi yang singkat membuat masyarakat seakan tidak mengetahui apa yang terjadi dibaliknya.
Namun, didalam iklan tersebut menurut saya selaku penganalisa masih memiliki beberapa kekurangan yang secara tidak disadari bisa menimbulkan kebingungan publik. Pertama, tim dari Gita ini terlalu men-judge ­citra polisi yang suka menerima suap. Hal semacam ini bisa membuat masyarakat berpikir bahwa polisi itu rakus dan bisa menurunkan kepercayaan terhadap polisi. Bolehlah didalam iklan itu seorang polisi menolak sebuah “suapan damai” dari seorang pelanggar lalu lintas, tapi ketika diamati lebih dalam apa yang terjadi? Raut wajah polisi tersebut ketika menolak seakan belum mencerminkan ketegasan, bisa dikatakan batinnya masih bertarung walaupun akhirnya tidak diterima.
Hal yang kedua yaitu penampilan secara jelas nomor polisi dari kendaraan yang bersangkutan. Menurut saya kiranya lebih baik tidak menampilkan secara jelas dan kalai perlu tidak usah ditampilkan nomor polisinya. Lebih baik menghindari hal sensitif untuk ditampilkan daripada pada ujungnya menuai masalah. Okelah semisal sudah mendapat izin dari yang bersangkutan untuk diekspos nomor polisinya, kalau tidak mendapat izin bagaimana? Permasalahan yang rumit tentu akan menghinggapi kita nantinya.
Kelemahan yang ketiga yaitu tulisan “Peserta Konvensi Partai Demokrat” yang sengaja dikecilkan. Sengaja dilakukan oleh tim kampanye Gita agar masyarakat merasa simpatik terhadap sosok Gita Wirjawan. Padahal tujuan yang ingin dicapai adalah mendapatkan hati dimasyarakat untuk kepentingan politik. Seperti kita ketahui, konvensi Partai Demokrat menjadi ajang politik bagi para perindu RI 1. Salah satunya adalah mantan Menteri Perdagangan RI yang rela melepas jabatan demi mengikuti konvensi ini.
Selanjutnya kelemahan yang terakhir adalah ending daripada iklan ini, yaitu terkait logo. Orang yang tidak tahu tentu akan bingung menerjemahkan logo dari Gita Wirjawan ini. Jangan-jangan logo ini adalah logo lingkaran setan politik Indonesia? Terus memutar tanpa ujung dan tanpa perubahan. Pemilihan warna juga sangat mempengaruhi atensi dari masyarakat. Dalam sejarahnya, warna merah selalu dikaitkan dengan energi positif, dinamis dan percaya diri. Sedangkan warna biru diartikan sebagai simbol ketenangan, kepercayaan, keamanan dan kebersihan. Apakah Gita ingin bermaksud menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang bersemangat dan dapat dipercaya mengingat ialah peserta termuda dalam konvensi? Kita tunggu saja... 

Konsep Ilmu dalam Islam



KONSEP ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM
A.     Pengertian Ilmu Pengetahuan
Kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab yaitu  (alima, ya’lamu, ‘ilman) yang berarti mengerti, memahami benar-benar. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yg dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[1] Ilmu ialah deskripsi data pengalaman secara lengkap dan tertanggung jawabkan dalam rumusan-rumusannya yang sesederhana mungkin.[2]
Ilmu merupakan perkataan yang memiliki makna lebih dari satu arti. Oleh karenanya diperlukan pemahaman dalam memaknai apa yang dimaksud. Menurut cakupannya pertama-tama ilmu adalah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah dalam satu kesatuan. Dalam arti kedua ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari pokok tertentu. Maksud dari pengertian ini adalah bahwa ilmu berarti suatu cabang ilmu khusus.[3]
Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Gerak pemikiran ini dalam kegiatannya mempergunakan lambang yang merupakan abtraksi dari objek yang sedang kita pikirkan. Bahasa adalah salah satu lambang tersebut dimana objek-objek kehidupan yang konkrit dinyatakan dengan kata-kata dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Pengetahun ini merupakan produk kegiatan berfikir yang merupakan obor peradaban dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna.[4]
B.      Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam
Orang yang membaca Al Qur’an akan mendapati materi ‘ilm yang terdapat dalam surah Makiyah dan Madaniyah secara seimbang dengan semua kata jadiannya;sebagai kata benda, kata kerja, atau kata keterangan beberapa ratus kali. Kata kerja ta’lamun (kamu mengetahui) terulang sebanyak 56 kali. Ditambah 3 kali dengan redaksi fasata’lamun (maka kalian akan mengetahui), 9 kali dengan redaksi ta’lamu (kalian mengetahui), 85 kali dengan redaksi ya’lamun (mereka mengetahui), 7 kali dengan redaksi ya’lamu (mereka mengetahui) dan sekitar 47 kali terulang kata kerja ‘allama beserta kata jadiannya.[5]
Dari pemaparan diatas ilmu dalam Islam menempati posisi yang sangat penting.  Sehingga orang berilmu menempati kedudukan yang mulia, Allah SWT berfirman; “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Mujadalah: 11). Dalam satu hadits, mencari ilmu juga mendapatkan tempat yang mulia; “Barang siapa yang mencari ilmu maka ia di jalan Allah sampai ia pulang” (HR. Tirmidzi).
Wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW berkaitan dengan perintah membaca (iqra’). Tetapi, sejak awal, sudah diingatkan bahwa proses membaca tidak boleh dipisahkan dari ingat kepada Allah SWT. Harus dilakukan dengan mengingat nama Allah SwT (Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq). Konsepsi Ilmu dalam Islam tidak memisahkan secara dikotomis antara iman dan ilmu pengetahuan. Tidak memisahkan unsur dunia dan unsur akhirat. Karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dipelajari bermuara pada satu tujuan penting, mengenal Allah, beribadah kepada-Nya dan kebahagiaan di akhirat.
Sehingga dalam Islam sendiri ilmu itu terkait dengan akidah. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan “Mengawali akidah (yang disusun oleh al-Nasafi) dengan pernyataan yang jelas tentang ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang sangat penting, sebab Islam adalah agama yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Penyangkalan terhadap kemungkinan dan objektifitas ilmu pengetahuan akan mengakibatkan hancurnya dasar yang tidak hanya menjadi akar bagi agama, tetapi juga bagi semua jenis sains”.[6]
Orang yang bertambah ‘informasi pengetahuannya’, namun tidak bertambah imannya, maka orang tersebut dijauhkan dari petunjuk Allah. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah petunjuknya, maka tidak akan bertambah kecuali dia akan makin jauh dari Allah SWT” (HR. al-Dailami). Beriman mensyaratkan untuk berilmu, seperti firman Allah swt, “Hanya orang-orang berilmu (ulama’) yang betul-betul takut kepada Allah” (QS Al-Fathir: 28).
Sementara kaum sofis berkeyakinan bahwa mengetahui hakikat sesuatu itu tidak mungkin. Dalam konteks beragama, manusia tidak mengetahui hakikat yang benar itu. Dalam Islam, pandangan ini ditolak. Manusia secara lahir, batin, mental dan spritiual diberi kemampuan untuk mengetahui. Dalam Islam, mengetahui itu tidak mustahil. Persoalannya, – yang membedakan dengan Barat – darimana kita mengetahui? Inilah persoalan sistem, dan kaidah mengetahui.
Dr. Syamsuddin Arif mengatakan sumber ilmu dalam Islam ada; persepsi indera (idrak al-hawas), proses akal sehat (ta’aqqul), intuisi sehat (qalb) dan khabar shadiq. Persepsi inderawi meliputi yang lima (indera pendengar, pelihat, perasa, penyium, penyentuh), daya ingat atau memori , penggambaran dan estimasi. Proses akal mencakup nalar dan alur pikir. Dengan alur pikir kita bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik kesimpulan.
Selanjutnya dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap pesan-pesan isyarat ilahi, fath, ilham, kasyf dan sebagainya. Sumber lain yang tak kalah pentingnya adalah khabar shadiq, yang berasal dari dan bersandar pada otoritas. Sumber khabar shadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan diteruskan yakni ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai ke akhir zaman.[7]
Dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu yang primer karena ia berkaitan langsung dengan realitas absolute, yaitu Allah SWT. Bahkan penggalian ilmu pengetahuan dapat ditemukan di dalam wahyu. Hal ini berbeda dengan Barat yang menolak sama sekali wahyu sebagai sumber ilmu. Wahyu tidak dapat diverifikasi secara ilmiah. Dalam konteks epistemologi, sebenarnya konsepsi Islam lebih komprehensif daripada Barat yang membatasi pada ranah empirik saja.[8]
Dari sisi ontologis, Tuhan merupakan aspek sentral dalam ilmu pengetahuan Islami. Pengetahuan Tuhan yang absolut ini dibutuhkan ketika indera dan akal manusia tidak mampu menerjemahkan realitas non-fisik. Maka di sini diperlukan pemahaman tentang konsep Tuhan yang benar. Pemahaman yang keliru tentang konsep Tuhan beserta aspek-aspek teologis lainnya berimplikasi terhadap epistemologi. Jika Tuhan yang diyakini itu hanya aspek transenden saja yang  memiliki sifat absolut, sedangkan Tuhan itu tidak imanen, maka tidak akan menghasilkan apa-apa terhadap ilmu pengetahuan Islam. [9]
Secara aksiologis, pemahaman tentang konsep Tuhan, wahyu, agama dan lainnya dijadikan sebagai sumber nilai. Sistem nilai tidak diambil dari pengalaman manusia atau fenomena sosial yang selalu berubah-ubah. Nilai dalam Islam tidak ‘on going proces’. Ia bersifat tetap dan harus termanifestasikan dalam setiap kerja-kerja ilmiah. Sehingga, Ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan harus memiliki visi nilai. Karena teologi mengimplikasikan epistemologi, maka teologi beserta aspek-aspeknya mempengaruhi proses berpikir seorang ilmuan. Teologi yang benar akan menghasilkan sistem epistemologi yang tepat pula sesuai dengan nilai Islam.
C.      Klasisifikasi Ilmu Pengetahuan
Al-Ghazali mengemukakan bahwa ada tiga jenis ilmu[10]. Pertama, ilmu rasional murni (‘aqli mahdh). Contoh yang diberikan al-Ghazali adalah aritmetika (al-hisab), geometri (al-handasa), dan astrologi (al-nujum). Ilmu-ilmu rasional ini, menurut al-Ghazali, tidak dianjurkan oleh agama untuk dipelajari. Alasan yang ia kemukakan sangat menarik yaitu ilmu-ilmu tersebut tidak seluruhnya benar, sebagian mengandung kebenaran, dan sebagian lagi hanyalah dugaan-dugaan atau spekulasi yang tak berdasar. Meski mengandung kebenaran, ilmu-ilmu itu, menurut al-Ghazali, tetap tiada guna karena hanya berurusan dengan kehidupan duniawi yang fana.
Kedua, adalah ilmu-ilmu tradisional atau ilmu naqli. Kata “naqli” secara harafiah berarti sesuatu yang didengar atau dinukil dari sumber terdahulu. Contoh ilmu semacam ini adalah ilmu hadis dan tafsir. Tentu yang dimaksud oleh al-Ghazali di sini adalah genre tafsir yang dikenal dengan tafsir bi al-ma’tsur, yakni tafsir yang didasarkan pada hadits, pendapat para sahabat atau tabi’in. Ilmu-ilmu ini disebut sebagai “naqli” karena didasarkan pada riwayat atau pendapat otoritas terdahulu. Meskipun ada peran akal di sana, tapi sangatlah minimal karena yang diutamakan hanya ingatan yang kuat.
Ketiga adalah ilmu yang menggabungkan antara akal dan tradisi, antara penalaran dan riwayat. Ilmu semacam ini paling tinggi statusnya dalam pandangan al-Ghazali, sebab di sana akal dan wahyu bekerja secara serentak. Contoh ilmu semacam ini antara lain adalah ushul fiqh, yakni ilmu yang mengulas cara-cara untuk menentukan hukum dari dalil-dalil agama yang bersifat umum. Ilmu ushul fiqh disebut sebagai ilmu “aqnali” sebab di sana akal tidak berjalan sendirian, begitu pula wahyu atau tradisi tidak merupakan sumber utama. Baik wahyu dan akal bekerja secara bersama-sama. Karena itu, ushul fiqh adalah ilmu yang statusnya lebih tinggi dan mulia ketimbang ilmu hadis atau tafsir.
Al-Ghazali mengemukakan argumen tambahan untuk mendukung pendapatnya tentang keunggulan ilmu aqnali. Yakni, bahwa ilmu-ilmu semacam itu tidak dilandaskan pada taqlid semata yang menjadi ciri utama ilmu naqli, begitu pula ia tidak bersandar pada akal murni. Taqlid atau meniru secara membabi buta ditolak oleh akal, sementara itu berpegangan pada akal semata juga tidak dapat dibenarkan oleh agama. Ilmu yang unggul adalah yang berdiri di tengah-tengah antara akal dan wahyu.
Memang benar kenyataannya bahwa tidak semua persoalan dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan. Bagaimanapun juga ilmu pengetahuan itu memiliki batas-batas tertentu untuk memecahkan masalah. Masalah-masalah yang diluar atau diatas jangkauan ilmu pengetahuan yang secara otomatis tidak bisa terselesaikan maka akan diserahkan kepada filsafat.[11] Tentu kita dalam berfilsafat dengan cara apapun tidak boleh menyimpang dari Al Qur’an dan Hadits, karena didalam itu semua ada petunjuk dari Allah SWT.




[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia ; ilmu.
[2] Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Jakarta, Rineka Cipta, 2004, hal 62.
[3] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu Edisi Kedua, Yogyakarta, Liberty, 1991, hal 86.
[4] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001, hal 1.
[5] Yusuf Qardhawi, Al qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Gema Insani Press, 1998, hal 87.
[6] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung, Penerbit Pustaka, cet 1 1981 terjemahan Karsidjo Djojosuwarno, hal 302.
[7] Syamsuddin Arif, Prinsip-Prinsip Epistemologi Islam.pdf  dalam academia.edu.documents hal 3.
[8] Miska M. Amien, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, UI Press, 1983, hal 13.
[9] Ibid.
[10] Afzalur Rahman, Al Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Rineka Cipta cet 2 1992 terjemahan Arifin hal 19.
[11] Endang Saifudin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya, Bina Ilmu, cet  5 1985 hal 171.

Mengenai Saya

Foto saya
Aku adalah seorang yang bebas, bebas berekspresi di dunia fana...

Entri Populer

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. my world of imajination! - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger